Ikatan
pernikahan antara suami-istri dinyatakan habis baik di waktu hidupnya
(yakni bercerai) maupun meninggal salah satu diantara keduanya. Disetiap
keadaan ini terdapat kewajiban masa iddah yaitu waktu terbatas
(menunggu untuk menikah lagi) secara syar’i.
Didalam masa iddah terdapat hikmah diantaranya diharamkan
merobohkan nilai pernikahan yang telah sempurna, untuk mengetahui
(apakah ada) tanda-tanda kehamilan didalam rahim, agar tidak
menyetubuhinya kecuali memisahkan darinya, masa menunggu dan memutuskan
keturunan (dari suami sebelumnya).
Hikmah yang lain adalah memuliakan ikatan pernikahan yang
lalu, menghormati hak suami yang telah bercerai dan menampakkan kepada
masyarakat bahwa ia telah bercerai.
Masa iddah ini terbagi atas 4 macam, yaitu :
1. Iddah masa kehamilan,
yaitu waktunya
sampai masa kelahiran kandungan yang dikarenakan
thalaq ba’in (perceraian yang mengakibatkan tidak kembali kepada suaminya) atau
talaq raj’i (perceraian yang dapat kembali kepada suaminya) dalam keadaan hidup atau wafat. Firman Alloh ‘azza wa jalla :
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan.” QS. Ath-Thalaq ; 4
2. Iddah muthlaqah (masa perceraian),
yaitu masa iddah yang terhitung masa haidh, maka wanita menunggu
tiga quru’ (masa suci), sebagaimana firman Alloh ‘azza wa jalla :
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” QS. Al-Baqarah ; 228
Yaitu 3 kali masa haidh.
3. Perempuan yang tidak terkena haidh,
yakni ada dua jenis perempuan yaitu perempuan usia dini yang
tidak/belum terkena haidh dan perempuan usia tua yang telah berhenti
masa haidhnya (menopause), seperti dijelaskan Alloh ‘azza wa jalla
tentang masa iddah dua jenis perempuan ini :
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haidh lagi (menopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka
iddah mereka adalah
tiga bulan dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haidh.” QS. At-Thalaq ; 4
4. Istri yang ditinggal suaminya karena wafat,
Alloh menjelaskan masa iddahnya sebagai berikut :
“Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan
istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah)
empat bulan sepuluh hari.” QS. Al-Baqarah ; 234
Ayat ini mencakup wanita yang telah disetubuhi maupun yang belum
disetubuhi, usia muda maupun usia tua dan TIDAK TERMASUK WANITA HAMIL.
Karena masa iddah bagi wanita hamil apabila mereka sampai melahirkan,
seperti yang telah dijelaskan diatas.
Demikian yang kami nukil dari kitab
Al-Hadyu An-Nabawi karya Ibnul Qoyyim (5/594-595 ; cetakan Al-Muhaqqaqah)
-diringkas dari kitab Tanbihaat ‘ala Ahkam Takhtashu bil Mu’minaat karya Syaikh Sholih Al-Fauzan ; edisi terjemah “Panduan Fiqh Praktis Bagi Wanita” penerbit Pustaka Sumayyah-
=============================
‘IDDAH ISTRI YANG DITALAK
Saya
memohon penjelasan tentang iddah istri yang ditalak. Apakah istri yang
ditalak dengan talak raj’i1 tetap tinggal di rumah suaminya atau ia
pergi ke rumah orangtuanya sampai suaminya merujuknya?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah menjawab,
“Wajib
bagi istri yang ditalak raj’i untuk tetap tinggal di rumah suaminya dan
haram bagi si suami mengeluarkan istrinya dari rumahnya, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Janganlah kalian (para suami) mengeluarkan mereka (para istri yang
ditalak raj’i) dari rumah-rumah mereka dan jangan pula mereka
(diperkenankan) keluar, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji
yang nyata. Itulah hukum-hukum Allah dan siapa yang melanggar
hukum-hukum Allah maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya
sendiri.” (Ath-Thalaq: 1)
Adapun sikap orang-orang pada
hari ini di mana seorang istri bila ditalak dengan talak raj’i, dengan
segera ia pulang ke rumah keluarga (orangtua)nya, hal ini jelas
merupakan kesalahan dan perbuatan yang diharamkan. Karena AllahTa’ala berfirman:
“Janganlah kalian mengeluarkan mereka.”
AllahTa’ala juga mengatakan:
“Dan jangan pula mereka (diperkenankan) keluar.” (Ath-Thalaq: 1)
Allah Ta’ala tidak mengecualikan larangan di atas, terkecuali bila
mereka (para istri yang ditalak) melakukan perbuatan keji yang nyata.
Setelah itu Allah Ta’ala berfirman:
“Itulah hukum-hukum Allah dan siapa yang melanggar hukum-hukum Allah
maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.”
(Ath-Thalaq: 1)
Lalu Allah Ta’ala menerangkan hikmah dari kewajiban si istri tetap tinggal di rumah suaminya dengan firman-Nya:
“Engkau tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu perkara.” (Ath-Thalaq: 1)
Maka sudah sewajibnya bagi kaum muslimin untuk menaruh perhatian
terhadap hukum-hukum Allah Ta’ala dan berpegang dengan apa yang
AllahTa’ala perintahkan kepada mereka. Janganlah mereka menjadikan adat
/kebiasaan sebagai jalan untuk menyelisihi hal-hal yang disyariatkan.
Yang penting, wajib bagi si wanita untuk memerhatikan masalah ini. Istri
yang ditalak dengan talak raj’i wajib tetap tinggal di rumah suaminya
hingga selesai iddahnya. Dalam keadaan/masa iddah tersebut si istri
boleh membuka wajah/tidak berhijab di hadapan suami yang mentalaknya,
tetap berhias dan mempercantik diri di depan suaminya, tetap memakai
wangi-wangian, mengajak bicara suaminya dan suaminya berbicara
dengannya. Boleh pula dia duduk-duduk bersama suaminya dan melakukan
segala sesuatu terkecuali istimta’ (bernikmat-nikmat) dengan jima’
(senggama) atau mubasyarah (bersentuhan/bermesraan yang tidak sampai
pada jima’). Karena istimta’ dengan jima atau mubasyarah hanya dilakukan
ketika rujuk.
Si suami boleh merujuk istrinya
(dalam masa iddah tersebut) dengan ucapan, ia katakan, “Aku telah
merujuk istriku.” Sebagaimana ia boleh merujuk istrinya dengan
perbuatan, dengan menggaulinya disertai niat rujuk.
Adapun tentang ‘iddah istri yang ditalak, kita katakan: Bila istri
itu ditalak sebelum si suami dukhul dan khalwat yakni sebelum melakukan
jima’, sebelum si suami berdua-duaan dengannya dan mubasyarah dengannya,
maka sama sekali tidak ada iddah bagi si wanita. Dengan demikian,
semata-mata talak dan ia pisah dari suaminya, berarti ia halal untuk
dinikahi oleh lelaki lain.
Namun bila si suami telah dukhul dengannya, berdua-duaan ataupun
menggaulinya, maka wajib bagi si istri untuk ber-’iddah. Tentang
‘iddahnya maka dilihat dari beberapa hal berikut ini:
Pertama: Bila ia dalam keadaan hamil maka ‘iddahnya sampai ia
melahirkan kandungannya, baik waktunya panjang ataupun pendek. Bisa
jadi, si suami mentalaknya pada waktu pagi dan sebelum dhuhur ternyata
ia telah melahirkan kandungannya, yang berarti berakhir iddahnya. Bisa
pula terjadi si suami mentalaknya pada bulan Muharram dan ia belum juga
melahirkan kandungannya sampai tiba bulan Dzulhijjah hingga ia beriddah
selama 12 bulan. Yang penting, istri yang hamil itu iddahnya dengan
melahirkan kandungannya secara mutlak (tanpa melihat panjang pendeknya
masa yang dijalani). Ini berdasarkan firman Allah l:
“Dan istri-istri yang sedang mengandung berakhir iddah mereka dengan melahirkan kandungan mereka.” (Ath-Thalaq: 4)
Kedua: Si istri yang ditalak tidak dalam keadaan hamil dan ia masih
mengalami haid (belum menopause), maka iddahnya tiga kali haid yang
sempurna setelah ia ditalak. Dengan makna, ia ditimpa haid lalu suci,
beberapa waktu kemudian ia haid lagi lalu suci, dan waktu berikutnya
(kali yang ketiga) ia haid lagi dan suci. Inilah tiga haid yang
sempurna, sama saja apakah masanya panjang di antara ketiga haid
tersebut atau tidak panjang. Berdasarkan hal ini, bila si suami
mentalaknya dalam kondisi ia masih dalam masa menyusui bayi/anaknya dan
ia tidak mengalami haid terkecuali setelah lewat dua tahun2 maka ia
terus dalam masa ‘iddah sampai datang haid padanya sebanyak tiga kali
sehingga ia menjalani masa iddah selama dua tahun atau lebih. Yang
penting, wanita yang masih haid berarti iddahnya tiga kali haid yang
sempurna, sama saja apakah masanya panjang ataulah pendek. Ini
berdasarkan firman Allah l:
“Dan istri-istri yang ditalak hendaknya menahan diri mereka (menjalani iddah) selama tiga quru3.” (Al-Baqarah: 228)
Ketiga: Si wanita tidak mengalami haid, bisa jadi karena usianya yang
masih kecil sehingga haid belum menimpanya, atau karena sudah tua,
telah mengalami menopause, maka iddahnya tiga bulan. Ini berdasarkan
firman Allah l:
“Dan wanita-wanita yang tidak haid lagi (menopause) dari istri-istri
kalian (yang kalian talak), jika kalian ragu tentang masa iddahnya, maka
iddah mereka tiga bulan, demikian pula wanita-wanita yang belum
mengalami haid.” (Ath-Thalaq: 4)
Keempat: Bila si wanita tidak lagi mengalami haid karena suatu sebab
yang diketahui bahwa haidnya tidak akan kembali padanya (maksudnya ia
tidak akan mengalami haid lagi selama-lamanya) seperti rahimnya telah
diangkat, maka wanita yang seperti ini disamakan dengan wanita yang
menopause. Ia beriddah selama tiga bulan.
Kelima: Bila si wanita tidak mengalami haid dalam keadaan ia tahu apa
yang menyebabkan haidnya tertahan, maka ia menanti sampai hilang
penyebab yang menahan haidnya dan menanti haidnya kembali lagi. Lalu ia
menghitung iddahnya dengan haid tersebut.
Keenam: Bila si wanita tidak mengalami haid dan ia tidak tahu apa
penyebabnya maka para ulama mengatakan si wanita beriddah selama setahun
penuh. Dengan perincian, sembilan bulan untuk masa kehamilan dan tiga
bulan untuk iddah.
Demikianlah pembagian iddah istri yang ditalak.
Adapun wanita yang pernikahannya fasakh/dibatalkan dengan cara
khulu’4 atau selainnya, maka cukup baginya menahan diri selama satu kali
haid. Bila seorang istri meminta khulu’ kepada suaminya dengan ia atau
walinya memberikan ‘iwadh kepada si suami agar si suami mau
melepaskannya dari ikatan pernikahan, kemudian si suami meluluskan
permintaan tersebut dengan mengambil ‘iwadh yang diberikan, maka cukup
setelah perpisahan itu si istri menahan diri selama satu kali haid.
Allah llah yang memberi taufik. (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin, 2/797, sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al-Mar’ah
Al-Muslimah fil ‘Aqa’id wal Ibadat wal Mu’amalat wal Adab, hal.
1028-1030)
1 Talak yang bisa dirujuk dalam masa ‘iddah, yaitu talak satu dan dua.
2 Karena biasanya ibu yang sedang menyusui tertahan haidnya.
3 Tentang quru ini ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan haid dan ada pula yang mengatakan maknanya suci dari haid.
4 Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t dalam Fathul Bari menyatakan
bahwa khulu’ adalah seorang suami melepaskan istrinya dari ikatan
pernikahan, dengan cara si istri memberikan iwadh/sejumlah harta untuk
menebus dirinya kepada suaminya.
Sumber :
http://asysyariah.com/%E2%80%98iddah-istri-yang-ditalak.html
====================================
Penjelasan Sederhana Tentang Talak (perceraian), Rujuk dan Iddah
Al-Ustadz Abu Ibrahim ‘Abdullah al-Jakarty
Diantara
perkara yang penting untuk diketahui adalah permasalahan talak, oleh
karena itu pada kesempatan ini kami bawakan sedikit penjelasan seputar
talak yang di rangkum dari beberapa kitab fiqih dengan harapan semoga
bermanfaat bagi diri penulis pribadi dan kaum muslimin.
TALAK (PERCERAIAN)
Pembahasan Pertama: Pengertian talak
Talak secara bahasa : ( التخلية) Melepaskan.
Secara syar’i : ( حل قيد النكاح أو بعضه) Melepaskan ikatan pernikahan secara menyeluruh atau sebagiannya.
(Al-mulakhos Al-Fiqhiy : 410)
Pembahasan Kedua: Dalil disyari’atkannya talak dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma.
Dalil dari Al-Qur’an :
الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Thalak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk
lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Al Baqarah : 229)
Dalil dari Sunnah
Diantaranya sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar
rahiyallahu anhuma bahwasannya dia menalak istrinya yang sedang haidh.
Umar menanyakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لْيَتْرُكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ
تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ
طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِى أَمَرَ اللَّهُ
عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ
“Perintahkan kepadanya agar dia merujuk istrinya, kemudian
membiarkan bersamanya sampai suci, kemudian haid lagi, kemudian suci
lagi. Lantas setelah itu terserah kepadanya, dia bisa mempertahankannya
jika mau dan dia bisa menalaknya (mencraikannya) sebelum menyentuhnya
(jima’) jika mau. Itulah iddah seperti yang diperintahkan oleh Allah
agar para istri yang ditalak dapat langsung menhadapinya (iddah)” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ijma
Berkata Asy-Syaikh Al-Allamah Shalih Al-Fauzan :
“Sungguh telah dihikayatkan adanya ijma’ atas di syariat-kannya talak (cerai) lebih dari satu ulama.” (Al-Mulakhos Al-Fiqhiy : 411)
Pembahasan Ketiga: Hukum Talak
Berkata Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan :
“Adapun hukumnya
berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan, terkadang hukumnya mubah,
terkadang hukumnya makruh, terkadang hukumnya mustahab (sunnah),
terkadang hukumnya wajib, dan terkadang hukumnya haram. Hukumnys sesuai
dengan hukum yang lima.” (Al-Mulakhos Al-Fiqhiy : 410)
- Makruh
Talak yang hukumnya makruh yaitu ketika suami menjatuhkan thalaq
tanpa ada hajat (alasan) yang menuntut terjadinya perceraian. Padahal
keadaan rumah tangganya berjalan dengan baik.
- Haram
Talak yang hukumnya haram yaitu ketika di jatuhkan tidak sesuai
petunjuk syar’i. Yaitu suami menjatuhkan thalaq dalam keadaan yang
dilarang dalam agama kita. dan terjadi pada dua keadaan:
Pertama : Suami menjatuhkan thalaq ketika istri sedang dalam keadaan haid
Kedua : Suami menjatuhkan thalaq kepada istri pada saat suci setelah digauli tanpa diketahui hamil/tidak.
- Mubah (boleh)
Talak yang hukumnya mubah yaitu ketika suami (berhajat) atau
mempunyai alasan untuk menalak istrinya. Seperti karena suami tidak
mencintai istrinya, atau karena perangai dan kelakuan yang buruk yang
ada pada istri sementara suami tidak sanggup bershabar kemudian
menceraikannya. Namun bershabar lebih baik.
فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah)
karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan
padanya kebaikan yang banyak.” (Qs. An-Nisa’ : 19)
- Sunnah
Talak yang hukumnya sunnah ketika di jatuhkan oleh suami demi
kemaslahatan istrinya serta mencegah kemudharatan jika tetap bersama
dengan dirinya, meskipun sesungguhnya suaminya masih mencintainya.
Seperti sang istri tidak mencintai suaminya, tidak bisa hidup dengannya
dan merasa khawatir tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai seorang
istri. Talak yang dilakukan suami pada keadaan seperti ini terhitung
sebagai kebaikan terhadap istri. Hal ini termasuk dalam keumuman firman
Allah
subhaanahu wata’ala :
وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ المُحْسِنِينَ
“Dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. Al Baqarah :195)
- Wajib
Talak yang hukumnya wajib yaitu bagi suami yang meng-ila’ istrinya
(bersumpah tidak akan menggauli istrinya lebih dari 4 bulan -ed.)
setelah masa penangguhannya selama empat bulan telah habis, bilamana ia
enggan kembali kepada istrinya. Hakim berwenang memaksanya untuk menalak
istrinya pada keadaan ini atau hakim yang menjatuhkan thalak
teersebut.
(Silahkan lihat Al-Mulakhos Al-Fiqhiy, Fiqih Muyyasar dan yang lainnya)
Pembahasan Keempat: Talak hanya Jatuh jika diucapkan adapun hanya niat semata tidak jatuh.
Talak hanya jatuh jika di ucapkan. Adapun niat semata dalam hati
tanpa di ucapkan, tidak terhitung talak. Berkata Asy-Syaikh Al-Allamah
Shalih Al-Fauzan hafidzahullah : “Tidak jatuh talak darinya dan tidak
juga dari yang mewakilinya kecuali dengan di ucapakan dengannya,
walaupun meniatkan dalam hatinya; tidak jatuh talak. Sampai lisannya
bergerak mngucapkannya. Berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alihi
wasallam:
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ ، أَوْ تَتَكَلَّمْ
“Sesunggunya Allah memaafkan dari ummatku apa yang dikatakan (terbesik) oleh jiwanya selama tidak di lakukan dan di ucapkan.”
(HR. al-Bukhari : 5269 dan Muslim : 127) (Mulakhos Al-Fiqhy : 414)
Pembahasan Kelima: Tentang Yang Berwenang Menjatuhkan Talak
Talak sah jika dari suami yang baligh, berakal, mumayyiz yang
mengerti dengan apa yang dipilih, atau orang yang mewakilinya. Talak
tidak jatuh (tidak sah) dari selain suami, anak kecil, orang gila, orang
mabuk, orang yang dipaksa, dan orang yang dalam keadaan marah yang
sangat sehingga menutup akalnya dan tidak sadar dengan apa yang di
ucapkannya.”
(Fiqih Muyyasar : 305)
Diantara dalilnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ
حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ
الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
“Diangkat pena dari tiga orang, dari orang yang tidur sampai dia
bangun, dari anak kecil sampai dia baligh, dari orang gila sampai dia
berakal” (HR. Abu Dawud:4450, at-Tirmidzi:1423 dan Ibnu Majjah:2041)
Pembahasan Keenam: Apakah talak jatuh jika diucapkan dengan bercanda
Seseorang yang mengatakan kepada istrinya dengan sekedar bercanda,
“kamu saya talak” atau “kamu saya cerai” maka jatuh talaknya. Dia
terhitung telah menjatuhkan talak kepada istrinya walaupun dia hanya
bercanda/bersendau gurau. Hal ini berdasarkan sebuah hadits. Dari Abu
Hurairah rdhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam
bersabda:
ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ وَالرَّجْعَةُ
“Tiga perkara yang sungguhnya mereka dianggap sebagai kesungguhan
dan yang bercandanya dianggap sebagai sungguhan, nikah, talak dan
rujuk” (HR. Abu Dawud 2129, at-Tirmidzi : 1184 dan Ibnu Majjah : 2039 dan dihasankan oleh syaikh al-Albani di Irwa’ : 1826)
Pembahasan Ketujuh: Tentang Lafadz-lafadz talak
Talak bisa jatuh dengan setiap lafadz yang menunjukkan kepadanya yaitu :
- Lafadz yang sharih, yaitu lafadz yang tidak dipahami darinya
selain dari talak. Seperti lafadz talak (cerai) atau pecahan dari kata
itu atau yang semisalnya. Seperti suami yang mengatakan kepada istrinya
kamu saya cerai.
- Dengan kinayah (kiasan) lafadz yang mengandung makna talak dan makna yang lainnya, jatuh sebagai talak jika di niatkan sebagai
talak, atau adanya qarinah (indikasi) yang menunjukkan pada maksud
tersebut. Seperti suami mengatakan kepada istrinya pergi sana atau
kembali sana kepada keluargamu.”(silahkan lihat Minhajus Saalikiin, Syaikh As-Sa’di :274, Mulakhos Al-Fiqhy, Syaikh Shalih Al-Fauzan : 413, Fiqih Muyyasar).
Pembahasan Kedelapan: Tentang Talak di tinjau dari Ta’liq dan Tanjiz
Talak bisa jatuh dengan munjazah (langsung) atau mu’alaqah (terikat dengan syarat)
Al-Munjazah : yaitu talak yang sejak dikeluarkan perkataan
tersebut bermaksud untuk menalak, sehinga seketika itu jatuhlah talak.
Seperti perkataan “kamu saya talak (cerai)”
Mu’allaqah: yaitu seseorang suami menjadikan jatuh talak
tergantung pada syarat. Seperti perkataan suami kalau kamu tetap pergi
ketempat itu kamu tertalak.
Pembahasan Kesembilan: Tentang apakah talak jatuh jika dengan tulisan
Tulisan
adalah sarana untuk mengungkapkan/menerangkan apa yang ada didalam hati
sebagaimana diungkapkan/diucapkan dengan lisan. Maka talak dianggap
jatuh (sah/terhitung) dengan tulisan walaupun dilakukan oleh orang yang
bisa berbicara, ini pendapatnya jumhur (mayoritas) ulama. Tertulis dalam
kitab Muhalla Ibnu Hazm perkataan:
“Sungguh manusia berselisih pada
permasalahan ini; telah diriwayatkan kepada kami dari an-Nakha’i,
as-Sa’bi’ dan az-Zuhri apabila seorang menulis talak dengan tangannya
maka talak sebuah keharusan (jatuh), dengannya al-Auza’i, Hasan bin Hay
dan Ahmad bin Hambal berpendapat.” (al-Muhalla : 11/514) begitu juga yang difatwakan oleh Ibnu Baaz.
Pembahasan Kesepuluh: Tentang seseorang yang Ragu-ragu apakah dirinya sudah menalak istrinya
Berkata Asy-Syaikh al-Allamah Shalih Al-Fauzan : “apabila ragu-ragu
akan jatuhnya talak, dan yang di inginkan dari ragu-ragu apakah terjadi
talak darinya, atau ragu-ragu bilangan talak, atau ragu-ragu apakah
telah terjadi syaratnya :
- Apabila ragu-ragu telah jatuh talak darinya, maka istrinya tidaklah
tertalak hanya semata-mata ragu-ragu. Dikarenakan pernikahannya dibangun
diatas keyakinan dan tidak bisa gugur hanya karena ragu-ragu.
- Apabila ragu-ragu terjadinya syarat yang dia syaratkan dalam
talaknya seperti dia berkata, “Apabila kamu masuk rumah maka kamu saya
talak (cerai).” Kemudian ragu-ragu tentang masuknya istri ke rumah.
Sesungguhnya dia tidak tertalak hanya karena ragu-ragu sebagaimana
penjelasan yang lalu.
- Apabila yakin terjadinya talak darinya dan ragu-ragu tentang
bilangannya tidaklah jatuh kecuali satu dikarenakan dia yakin terjadinya
talak, adapun lebih dari itu dia ragu-ragu. Dan keyakinan tidak dapat
dihilangkan dengan keraguan. (Mulakhos Al-Fiqhy, Syaikh Shalih Al-Fauzan : 413).
Pembahasan Kesebelas: Tentang talak sunnah dan talak bid’ah
- Pengertian talak sunnah dan talak bid’ah
Talak sunnah adalah talak yang terjadi sesuai dengan syar’i.
Yaitu seorang suami menceraikan istrinya dengan ucapan satu kali talak
dalam keadaan suci yang pada saat suci sang suami belum mencampurinya,
dan membiarkannya serta tidak mengikuti dengan talak yang berikutnya
sampai habis masa iddahnya.
Talak bid’ah adalah talak yang dijatuhkan oleh pelakunya dalam
bentuk yang haram. Seperti mengucapkan talak tiga dengan satu kali
ucapan (lafadz). Atau mentalak istrinya dalam keadaan haid atau mentalak
istrinya dalam keadaan suci namun setelah digauli yang tidak diketahui
hamil tidaknya. Hukum talak seperti ini haram.
(Fiqih Muyyasar : 305, Mulakhos Al-Fiqhy : 413).
- Hukum talak sunnah dan talak bid’ah
Hukum talak sunnah : Para ulama sepakat bahwa talak sunnah jatuh sebagai talak.
Hukum talak bid’ah : diharamkan atas suami untuk mentalak
dengan talak bid’ah, baik pada jumlah bilangan (sekaligus tiga –ed) atau
pada waktu (ketika haid –ed). adapun dari sisi jatuh tidaknya talak,
maka jatuh talaknya dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
memerintahkan Ibnu Umar yang menalak istrinya ketika haid untuk
merujuknya. tidaklah rujuk kecuali setelah terjadinya talak.
(Silahkan lihat Fiqih Muyyasar : 305)
Pembahasan Keduabelas: Tentang Talak Raj’i dan Talak Ba’in
Seorang suami yang merdeka mempunyai kesempatan untuk menalak istri
yang telah digaulinya sebanyak tiga kali. Para ulama sepakat bahwa talak
itu ada dua macam
- Talak Raj’i
Talak raj’i adalah talak yang setelah dijatuhkan sang suami masih mempunyai hak untuk merujuk kembali istrinya selama dalam
masa iddah,
tanpa tergantung persetujuan istrinya dan tanpa akad yang baru. Yaitu
talak pertama dan kedua yang sang suami mempunyai hak untuk rujuk pada
masa iddah kapan saja dia mau walaupun istri tidak rela dirujuk.
- Talak bain
Talak bain ada dua macam :
Pertama : Talak ba’inunah shugra (perpisahan yang kecil)
adalah talak yang setelah dijatuhkan oleh suami tidak memiliki peluang
untuk rujuk kembali kepada istrinya. Jika ingin kembali dengan akad
nikah yang baru dan tidak harus dinikahi dulu oleh laki-laki lain.
Yaitu terjadi ketika masa iddah istri dalam talak raj’i (talak satu
dan dua) telah selesai, dan sang suami belum merujuknya. Atau contoh
yang lain yaitu talak yang dijatuhkan kepada istri yang belum pernah
digauli (berhubungan suami istri) maka hukum perceraiannya adalah
ba’inunah sughra. Tidak halal bagi suami untuk merujuknya, jika ingin
kembali kepada istrinya itu (mantan istri -ed) atas persetujuan istri
dan dengan akad nikah yang baru. Karena hak rujuk ada pada masa iddah
sedangkan kondisi seperti ini tidak ada masa iddahnya.
Kedua : Talak ba’inunah kubra (perpisahan yang besar) adalah
talak yang setelah dijatuhkan oleh suami tidak ada kesempatan/peluang
untuk rujuk (kembali) kepada istrinya. Jika ingin kembali atas
persetujuan istri (baca mantan istri -ed) dan dengan akad nikah yang
baru. dan setelah mantan istrinya menikah dengan laki-laki lain dan
telah melakukan hubungan suami istri (jima’), lalu mantan istrinya itu
dicerai atau suaminya meninggal dan masa iddahnya telah selesai.
Contoh talak tiga, seorang suami menalak istrinya, kemudian
merujuknya dalam masa iddah atau menikahinya setelah habis masa
iddahnya. Lalu menalak lagi, kemudian merujuknya dalam masa iddah atau
menikahinya setelah habis masa iddahnya, lalu dia menalaknya lagi yang
ketiga kalinya. Inilah talak ba’inah Qubra yang menjadikan istrinya
tidak bisa dirujuk lagi.
RUJUK
Pembahasan Pertama: Pengertian Rujuk
Rujuk adalah mengembalikan istrinya yang tertalak yang bukan pada
talak bain kepada keadaan sebelum terjadinya talak tanpa adanya akad.
Pembahasan Kedua: Dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma disyariatkan rujuk
Dari Al-Qur’an
أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا
“…dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.” (Qs. Al-Baqarah : 228)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda :
مره فيراجعها ثم ليطلقها طاهرا أو حاملا
“Suruh dia merujuk kembali istrinya, kemudian silahkan dia menalaknya dalam keaadaan suci atau sedang hamil.” (HR. Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Ijma
Berkata Asy-Syaikh al-Allamah Shalih Al-Fauzan hafidzahullah : berkata Ibnul Mundzir
“Para
ulama sepakat bahwa seorang suami yang merdeka apabila mentalak yang
bukan talak tiga dan seorang budak apabila mentalak yang bukan talak dua
maka baginya ada hak untuk rujuk pada masa iddah.” (Al-Mulskhos Al-Fiqhiy : 416)
Pembahasan Ketiga: Talak yang bisa dirujuk dan beberapa macam keadaan wanita yang tertalak
- Talak yang ada kesempatan seorang suami untuk rujuk adalah talak
kepada istri yang sudah pernah digauli pada talak pertama atau kedua dalam masa iddah.
Adapun talak ketiga tidak ada kesempatan seorang suami untuk rujuk
begitu juga istri yang tertalak dalam keadaan belum pernah digauli.
- Wanita yang tertalak pada talak pertama dan kedua statusnya masih sebagai istrinya yang sah selama dalam masa iddah.
Dia masih berhak menerima nafkah, tempat tinggal dan dia harus berada
pada rumah suaminya. Begitu juga haram hukumnya seorang istri yang
tertalak dengan talak pertama atau kedua menawar-nawarkan dirinya untuk
dinikai oleh orang lain dalam masa iddahnya, karena statusnya masih
istri dari suaminya.
Pembahasan Keempat: Tata cara rujuk
Rujuk adalah hak mutlak suami di masa iddah wanita yang ditalak
raj’i. Hak mutlak ini tanpa ada syarat kerelaan istri. Tatacara merujuk
harus sesuai syar’i:
- Niat untuk merujuk istrinya dalam rangka untuk memperbaiki kembali hubungan yang retak.
- Prosesnya
- Dengan ucapan, yaitu setiap lafadz yang menunjukkan makna rujuk disertai niat.
- Menggauli istrinya disertai niat rujuk menurut pendapat yang
benar. Oleh karena itu seorang suami yang menalak istrinya dengan talak
raj’i tidak boleh menggaulinya tanpa niat rujuk.
Pembahasan Kelima: Mempersaksiakan talak dan rujuk
- Disyariatkan mempersaksiakan talak yang dijatuhkan kepada dua saksi
pria yang adil; istiqamah (tidak fasik). Adapun tentang hukumnya para
ulama berselisih pendapat, ada pendapat ulama yang mengatakan hukumnya
wajib, dan ada pendapat yang mengatakan hukumnya sunnah dan ini
pendapatnya jumhur. Yang jelas mempersaksikan talak dapat dilakukan saat
menjatuhkan talak atau disusulkan setelah talak jatuh.
- Disyariatkan juga mengumumkan dan mempersaksiakan rujuk kepada dua
saksi pria yang adil; istiqamah (tidak fasik). Adapaun tentang hukumnya
para ulama berselisih pendapat, ada yang mengatakan wajib, ada juga yang
berpendapat sunnah, dan ini pendapatnya jumhur.
IDDAH
Pembahasan Pertama : Pegertian iddah
Iddah adalah sebuah nama untuk jangka waktu tertentu seorang istri
menunggu setelah dicerai oleh suaminya, atau ditinggal mati oleh
suaminya atau untuk memastikan kosongnya rahim.
Pembahasan Kedua: Dalil disyariatkanya iddah
Dalil dari Al-Qur’an
Allah Ta’aala berfirman :
وَالمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’” (Qs. Al-Baqarah :228)
Dalil dari Sunnah
عَنِ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ أَنَّ سُبَيْعَةَ
الأَسْلَمِيَّةَ نُفِسَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ فَجَاءَتِ
النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَاسْتَأْذَنَتْهُ أَنْ تَنْكِحَ فَأَذِنَ
لَهَا فَنَكَحَتْ
Dari Miswar bin Makhramah, bahwasannya Subai’ah Al-Aslamiyyah
radhiyallahu ‘anha mengalami nifas setelah di tinggal wafat oleh
suaminya beberapa hari, maka dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam untuk minta ijin menikah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam mengijinkannya. Maka menikahlah dia.”
(HR. Bukahari : 5320)
Pembahasan Ketiga: Hikmah di Syariatkan iddah
Banyak hikmah disyariatkannya iddah, diantaranya:
- Untuk memastikan kosongnya rahim dari janin, sehingga tidak tercampurnya nasab
- Untuk memberikan waktu bagi suami yang mencerai istrinya untuk rujuk apabila dia menyesal jika pada talak raj’i
- Menjaga hak seorang wanita/istri yang hamil apabila terjadi talak pada saat hamil.
- Untuk memperlihatkan betapa besarnya dan terhormatnya
permasalahan pernikahan dan memberikan pemahaman bahwa akad nikah
mengungguli akad-akad yang lainnya.
- Memperlihatkan rasa sedih karena baru ditinggal mati suami. Jadi kalau wanita menahan diri untuk tidak berdandan, hal itu membuktikan kesetiaannya kepada suaminya yang telah meninggal.
(silahkan lihat Mulakhos Fiqhiy, Syaikh Al-Fauzan : 419-420, Fiqih Muyasar : 317)
Pembahasan Keempat: Macam-macam iddah
- Iddah dengan quru’
- Iddah dengan beberapa bulan
- Iddah dengan melahirkan
Penjelasannya secara singkat.
Iddah dengan quru’ dalilnya Firman Allah Ta’aala
وَالمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ 4
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’” (Qs. Al-Baqarah :228)
Para ulama berselisih pendapat tentang makna quru’.
Pendapat pertama: Quru’ adalah haidh ini pendapatnya para
ulama dari kalangan madzhab Hanafi, dan para ulama dari kalangan madzhab
Hanbali dalam satu riwayat.
Pendapat kedua: yang dimaksud quru’ adalah suci, bukan haidh.
Ini pendapatnya para ulama dari kalangan madhzab Maliki, madzhab syafi’i
dan madzhab Hanbali dalam riwayat yang lain.
Wallahu ta’aala a’lam bis shawwab adapun kami cenderung dengan
pendapat yang pertama yang memaknai quru’ dengan haidh. Jadi macam iddah
yang pertama dengan tiga kali haid.
Iddahnya dengan beberapa bulan
Dalilnya, firman Allah Ta’aala:
وَاللائِي يَئِسْنَ مِنَ المَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللائِي لَمْ يَحِضْنَ
“dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di
antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa
iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula)
perempuan-perempuan yang tidak haid.”(Qs. Ath-Thalaq : 4)
Pada ayat ini memberlakukan
iddah selama tiga bulan pada dua jenis wanita :
1. Wanita yang sudah memasuki usia menopause (tidak haid lagi)
2. Wanita yang belum pernah haidh karena masih kecil
Iddahnya dengan melahirkan
Masa iddah wanita yang hamil itu berakhir dengan melahirkan,
sekalipun itu berlangsung hanya sebentar setelah perceraian. Dan hal ini
berlaku bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya atau diceraikan.
Tetapi bagi selain wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya masa
iddahnya
empat bulan sepuluh hari
Itu penjelasan sederhana lagi ringkas yang bisa kami bawakan disini
dari kitab para ulama semoga bermanfaat. Wallahu Ta’aala A’lam bis
Shawwab.
Selesai ditulis oleh Abu Ibrahim ‘Abdullah al-Jakarty
Priuk Jakarta Utara
10 Rabiul Awwal 1434H/22 Januari 2013
Sumber bacaan
Minhajus Saalikiin Syaikh ‘Aburrahman As-Sa’di
Mulakhos Al-Fiqhy Syaikh Shalih Al-Fauzan
Fiqih Muyyasar kumpulan para ulama
Dan yang lainnya
Sumber:
http://tauhiddansyirik.wordpress.com/2013/01/29/1299/#more-1299