I. Fadhilah (Keutamaan)
Shalat Tarawih memiliki keutamaan dan ganjaran yang besar, sebagaimana yang disebutkan oleh berbagai hadits shahih, yakni di antaranya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ
رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ
ذَنْبِهِ
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda: “Barangsiapa yang shalat malam pada bulan Ramadhan karena
iman dan mengharap ganjaran dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya
yang lalu.” (HR. Malik, Al Muwaththa’, Kitab An Nida Lish Shalah Bab At Targhib Fi Ash Shalah fi Ramadhan, Juz. 1, Hal. 338, No hadits. 230. Bukhari, Kitab Al Iman Bab Tathawwu’ Qiyam Ramadhan minal Iman, Juz. 1, Hal. 65, No hadits. 36. Muslim, Kitab Shalah Al Musafirin wa Qashruha Bab At Targhib fi Qiyam Ramadhan wa Huwa at Tarawih, Juz. 4, hal. 144, No hadits. 1266. Dan diriwayatkan oleh imam lainnya. Al Maktabah Asy Syamilah)
Hadits lain:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ لَيْلَةَ
الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِه
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
dia bersabda: “Barangsiapa yang shalat malam ketika lailatul qadar
karena iman dan mengharap ganjaran dari Allah, maka akan diampuni
dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Bukhari, Kitab Ash Shaum Bab Man Shama Ramadhan Imanan wa Ihtisaban wa Niyah, Juz. 6, Hal. 468, No hadits. 1768. HR. Muslim, Kitab Shalatul Musafirin wa Qashruha Bab At targhib fi Qiyamir Ramadhan, Juz. 4, Hal. 146, No hadits. 1268. Dan diriwayatkan oleh imam lainnya. Al Maktabah Asy Syamilah)
Mengomentari hadits di atas, Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:
أَنْ
يُقَال قِيَام رَمَضَان مِنْ غَيْر مُوَافَقَةِ لَيْلَة الْقَدْر
وَمَعْرِفَتهَا سَبَب لِغُفْرَانِ الذُّنُوب ، وَقِيَام لَيْلَة الْقَدْر
لِمَنْ وَافَقَهَا وَعَرَفَهَا سَبَب لِلْغُفْرَانِ وَإِنْ لَمْ يَقُمْ
غَيْرهَا
“Bahwa
dikatakan, shalat malam pada bulan Ramadhan yang tidak bertepatan
dengan lailatul qadar dan tidak mengetahuinya, merupakan sebab diampunya
dosa-dosa. Begitu pula shalat malam pada bulan Ramadhan yang bertepatan
dan mengetahui lailatul qadar, itu merupakan sebab diampuni dosa-dosa,
walau pun dia tidak shalat malam pada malam-malam lainnya.” (Syarh An Nawawi ‘Ala Muslim, Kitab Shalatul Musafirin wa Qashruha Bab At targhib fi Qiyamir Ramadhan Juz. 3, Hal. 103, pembahasan hadits no. 1268. Al Maktabah Asy Syamilah)
Imam Abu Thayyib Muhammad Syamsuddin Abadi Rahimahullah berkata dala kitabnya, ‘Aunul Ma’bud:
(
إِيمَانًا ) : أَيْ مُؤْمِنًا بِاللَّهِ وَمُصَدِّقًا بِأَنَّهُ تَقَرُّب
إِلَيْهِ ( وَاحْتِسَابًا ) : أَيْ مُحْتَسِبًا بِمَا فَعَلَهُ عِنْد
اللَّه أَجْرًا لَمْ يَقْصِد بِهِ غَيْره
“(Dengan keimanan) maksudnya adalah dengan keimanan kepada Allah, dan meyakini bahwa hal itu merupakan taqarrub kepada Allah Ta’ala. (Ihtisab)
maksudnya adalah mengharapkan bahwa apa yang dilakukannya akan mendapat
pahala dari Allah, dan tidak mengharapkan yang lainnya.” (‘Aunul Ma’bud, Juz. 3, hal. 309, pembahasn hadits no. 1164. Al Maktabah Asy Syamilah)
Begitu pula yang dikatakan oleh Imam Ibnu Hajar al Asqalani Rahimahullah:
وَالْمُرَاد بِالْإِيمَانِ الِاعْتِقَاد بِحَقِّ فَرْضِيَّةِ صَوْمِهِ ، وَبِالِاحْتِسَابِ طَلَب الثَّوَابِ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى
“Yang
dimaksud ‘dengan keimanan’ adalah keyakinan dengan benar terhadap
kewajiban puasanya, dan yang dimaksud dengan ‘ihtisab’ adalah mengharap
pahala dari Allah Ta’ala.” (Fathul Bari, Juz. 6, Hal. 138. Al Maktabah Asy Syamilah)
II. Hukumnya
Hukum shalat tarawih adalah sunah bagi muslim dan muslimah, dan itu merupakan ijma’ (kesepakatan) para ulama sejak dahulu. Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:
وَاجْتَمَعَتْ الْأُمَّة أَنَّ قِيَام رَمَضَان لَيْسَ بِوَاجِبٍ بَلْ هُوَ مَنْدُوب
“Umat telah ijma’ bahwa qiyam ramadhan (tarawih) tidaklah wajib, melainkan sunah.” (Syarh An Nawawi ‘Ala Muslim, Kitab Shalatul Musafirin wa Qashruha Bab At targhib fi Qiyamir Ramadhan wa Huwa tarawih, Juz. 3, hal. 102, pembahasan hadits no. 1267. Imam Abu Thayyib, ‘Aunul Ma’bud, Juz. 3, Hal. 309, pembahasan hadits no. 1164. Al Maktabah Asy Syamilah)
Sunahnya
tarawih, karena tak lain dan tak bukan adalah ia merupakan tahajudnya
manusia pada bulan Ramadhan, oleh karena itu ia disebut Qiyam Ramadhan, dan istilah tarawih baru ada belakangan. Sedangkan tahajjud adalah sunah (mustahab/ mandub/ tathawwu’/nafilah).
Allah Ta’ala berfirman:
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ
“Dan pada sebagian malam, lakukanlah tahajjud sebagai nafilah (tambahan) bagimu.” (QS. Al Isra’ (17): 79)
Imam Qatadah Radhiallahu ‘Anhu berkata tentang maksud ayat “ nafilah bagimu”:
تطوّعا وفضيلة لك.
“Sunah dan keutamaan bagimu.” (Imam Abu Ja’far Ath Thabari, Jami’ Al Bayan Fi Ta’wil Al Quran, Juz. 17, Hal. 526. Al Maktabah Asy Syamilah)
III. Waktu Pelaksanaannya
Shalat
Tarawih dilaksanakan setelah Isya dan sebelum witir, boleh dilaksanakan
setelah witir tetapi tidak afdhal dan terus berlanjut hingga akhir
malam.
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
قيام رمضان أو صلاة التراويح سنة الرجل والنساء تؤدى بعد صلاة العشاء.
وقبل الوتر ركعتين ركعتين، ويجوز أن تؤدى بعده ولكنه خلاف الافضل، ويستمر وقتها إلى آخر الليل.
“Qiyam
Ramadhan atau shalat Tarawih adalah sunah bagi laki-laki dan wanita,
ditunaikan setelah shalat Isya sebelum witir dua rakaat dua rakaat, dan
boleh dilaksanakan setelah witir tetapi itu tidak afdhal, dan waktunya
terus berlangsung hingga akhir malam.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 206. Al Maktabah Asy Syamilah)
Pada halaman lain dia juga berkata:
صلاة الليل تجوز في أول الليل ووسطه وآخره ما دامت الصلاة بعد صلاة العشاء.
“Shalat malam boleh dilakukan pada awal malam, pertengahan dan akhirnya, selama dilakukan setelah shalat Isya’.” (Ibid, Juz. 1, hal. 203. Al Maktabah Asy Syamilah)
Dalilnya adalah:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ
مَا
كُنَّا نَشَاءُ أَنْ نَرَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي اللَّيْلِ مُصَلِّيًا إِلَّا رَأَيْنَاهُ وَلَا نَشَاءُ أَنْ
نَرَاهُ نَائِمًا إِلَّا رَأَيْنَاه
Dari Anas, beliau berkata: “Kapan saja kami ingin melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
shalat pada malam hari, di saat itu pastilah kami melihatnya, dan kapan
saja kami ingin melihat tidurnya, pastilah kami juga melihatnya.” (HR. An Nasa’i, Kitab Qiyamul lail wa Tathawwu’ an Nahar Bab Dzikri Shalah Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam fill Lail, Juz. 6 Hal. 104, No hadits. 1609. Ahmad, Juz. 24, Hal. 120, No hadits. 11574. Syaikh Al Albany mengatakan: Shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i, Juz. 4, Hal. 271, no. 1627. Al Maktabah Asy Syamilah)
Riwayat ini menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mengkhususkan waktu tertentu pada malam hari untuk Qiyamul lail. Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdil Hadi As Sindi Rahimahullah mengomentari hadits di atas:
أَيْ
أَنَّ صَلَاته وَنَوْمه مَا كَانَا مَخْصُوصَيْنِ بِوَقْتٍ دُون وَقْت
بَلْ كَانَا مُخْتَلِفَيْنِ فِي الْأَوْقَات وَكُلّ وَقْت صَلَّى فِيهِ
أَحْيَانًا نَامَ فِيهِ أَحْيَانًا وَاَللَّه تَعَالَى أَعْلَمُ .
“Yaitu
bahwa Shalat dan tidurnya, tidaklah keduanya memiliki waktu khusus,
melainkan pada waktu berlainan, dan pada setiap waktu kadang-kadang dia
shalat, kadang-kadang beliau tidur. Wallahu A’lam. “ (Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdil Hadi As Sindi, Syarh Sunan An Nasa’i, Juz. 3, Hal. 79, pembahasan hadits no. 1609. Al Maktabah Asy Syamilah)
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menambahkan:
قال الحافظ: لم يكن لتهجده صلى الله عليه وسلم وقت معين بل بحسب ما يتيسر له القيام.
“Berkata Al hafizh (yakni Imam Ibnu Hajar, pen), bahwa shalat tahajud Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidaklah memiliki ketentuan waktu khusus, beliau mengerjakannya selama waktunya lapang untuk Qiyamul lail.” (Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 203 Al Maktabah Asy Syamilah)
IV. Boleh Berjamaah atau Sendiri
Shalat terawih dapat dilakukan berjamaah atau sendiri, keduanya pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Berkata Asy Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
قيام رمضان يجوز أن يصلى في جماعة كما يجوز أن يصلى على انفراد، ولكن صلاته جماعة في المسجد أفضل عند الجمهور.
“Qiyam
Ramadhan boleh dilakukan secara berjamaah sebagaimana boleh pula
dilakukan secara sendiri, tetapi dilakukan secara berjamaah adalah lebih
utama menurut pandangan jumhur (mayoritas) ulama.” (Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 207. Al Maktabah Asy Syamilah)
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
shalat di masjid, lalu manusia mengikutinya, keesokannya shalat lagi
dan manusia semakin banyak, lalu pada malam ketiga atau keempat mereka
berkumpul namun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak keluar bersama mereka, ketika pagi hari beliau bersabda:
قَدْ
رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ
إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي
رَمَضَانَ
“Aku
melihat apa yang kalian lakukan, dan tidak ada yang mencegahku keluar
menuju kalian melainkan aku khawatir hal itu kalian anggap kewajiban.”
Itu terjadi pada bukan Ramadhan. (HR. Malik, Al Muwaththa’, Kitab An Nida Lis Shalah Bab At Targhib fish Shalah fi Ramadhan, Juz. 1, Hal. 337, No hadits. 229. Bukhari, Kitab Al Juma’ah Bab Tahridh AN Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ‘ala Shalah al lail …., Juz. 4, Hal. 290, No hadits. 1061. Muslim, Kitab Shalatul Musafirin wa Qashruha Bab At targhib fi Qiyamir Ramadhan , Juz. 4 Hal. 148, No hadits. 1270. Abu Daud, Kitab Ash Shalah Bab Fi Qiyami Syahri Ramadhan, Juz. 4 Hal. 137, No hadits. 1166. Al Maktabah Asy Syamilah)
Riwayat ini menunjukkan bahwa shalat tarawih dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam secara
berjamaah. Pada hari ketiga atau keempat beliau tinggalkan, bukan
karena mengingkari berjamaahnya melainkan khawatir para sahabat saat itu
menganggapnya wajib.
Dalam Al Muntaqa Syarh Al Muwathatha’ disebutkan:
وَقَوْلُهُ
ثُمَّ اجْتَمَعُوا فِي اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ وَالرَّابِعَةِ فَلَمْ
يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ لَا يَدُلُّ عَلَى الْمَنْعِ مِنْ ذَلِكَ
لِإِقْرَارِهِ لَهُمْ فِي اللَّيْلَتَيْنِ المتقدمتين عَلَيْهِ وَلَا
يَدُلُّ عَلَى النَّسْخِ لِأَنَّهُ عَلَّلَ امْتِنَاعَهُ مِنْ الْخُرُوجِ
فَإِنَّهُ خَشِيَ أَنْ يُفْرَضَ عَلَيْهِم
“Kalimat yang berbunyi, ‘lalu pada malam ketiga atau keempat mereka berkumpul namun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
tidak keluar bersama mereka’ tidaklah menunjukkan bahwa berjamaah itu
terlarang, sebab hal itu sudah mereka lakukan dua malam sebelumnya, dan
ini juga tidak menunjukkan telah terjadi nasakh (revisi), sebab
telah disebutkan bahwa penyebab tercegahnya Rasulullah keluar adalah
karena beliau khawatir hal itu mereka sangka diwajibkan atas mereka.” (Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa’, Juz. 1, Hal. 262, pembahasan hadits no. 229. Al Maktabah Asy Syamilah)
Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:
فَفِيهِ
: جَوَاز النَّافِلَة جَمَاعَة ، وَلَكِنَّ الِاخْتِيَار فِيهَا
الِانْفِرَاد إِلَّا فِي نَوَافِل مَخْصُوصَة وَهِيَ : الْعِيد وَالْكُسُوف
وَالِاسْتِسْقَاء وَكَذَا التَّرَاوِيح عِنْد الْجُمْهُور كَمَا سَبَق
“Dalam
hadits ini, menunjukkan bolehnya shalat nafilah dilakukan berjamaah,
tetapi lebih diutamakan adalah sendiri, kecuali shalat-shalat nafilah
tertentu (yang memang dilakukan berjamaah, pen) seperti: shalat
‘Ied, shalat gerhana, shalat minta hujan, demikian juga tarawih menurut
pandangan jumhur, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.” (Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, Kitab Shalatul Musafirin wa Qashruha Bab At targhib fi Qiyamir Ramadhan wa Huwa Tarawih, Juz. 3 Hal. 105, pembahasan hadits no. 1270. Al Maktabah Asy Syamilah)
Di dalam sejarah, sejak saat itu, manusia melakukan shalat tarawih sendiri-sendiri, hingga akhirnya pada zaman Umar Radhiallahu ‘Anhu, dia melihat manusia shalat tarawih sendiri-sendiri dan semrawut, akhirnya dia menunjuk Ubay bin Ka’ab Radhiallahu ‘Anhu untuk menjadi imam shalat tarawih mereka, lalu Umar berkata:
نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini.” (HR. Bukhari, Kitab Shalah At Tarawih Bab Fadhli Man Qaama Ramadhan, Juz. 7, Hal. 135, No hadits. 1871. Al Maktabah Asy Syamilah)
V. Jumlah Rakaat
Masalah
jumlah rakaat shalat tarawih sejak dahulu telah menjadi polemik hingga
hari ini. Antara yang menganjurkan 8 rakaat dengan 3 rakaat witir, atau
20 rakaat dengan 3 rakaat witir, bahkan ada yang lebih dari itu. Manakah
yang sebaiknya kita jadikan pegangan? Ataukah semuanya benar, karena
memang tak ada ketentuan baku walau pun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
sepanjang hidupnya hanya melaksanakan 11 rakaat? Dan apakah yang
dilakukan oleh nabi tidak berarti wajib, melainkan hanya contoh saja?
Tarawih Pada Masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata:
مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَة
“Bahwa Rasulullah tidak pernah menambah lebih dari sebelas rakaat shalat malam, baik pada bulan Ramadhan atau selainnya.” (HR. Bukhari, Kitab Shalah At Tarawih Bab Fadhli Man Qaama Ramadhan, Juz. 7 Hal. 138, no hadits. 1874. Muslim, Kitab Ash Shalah Al Musafirin wa Qashruha Bab Shalatil Laili wa ‘Adadi Raka’at …, Juz. 4, hal. 89, No hadits. 1219. Al Maktabah Asy Syamilah)
Dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:
جاء
أبي بن كعب إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله ، إن
كان مني الليلة شيء يعني في رمضان ، قال : « وما ذاك يا أبي ؟ » ، قال :
نسوة في داري ، قلن : إنا لا نقرأ القرآن فنصلي بصلاتك ، قال : فصليت بهن
ثمان ركعات ، ثم أوترت ، قال : فكان شبه الرضا ولم يقل شيئا
Ubay bin Ka’ab datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
dan berkata: “Wahai Rasulullah, semalam ada peristiwa pada diri saya
(yaitu pada bulan Ramadhan).” Rasulullah bertanya: “Kejadian apa itu
Ubay?”, Ubay menjawab: “Ada beberapa wanita di rumahku, mereka berkata:
“Kami tidak membaca Al Quran, maka kami akan shalat bersamamu.” Lalu
Ubay berkata: “Lalu aku shalat bersama mereka sebanyak delapan rakaat,
lalu aku witir,” lalu Ubay berkata: “Nampaknya nabi ridha dan dia tidak mengatakan apa-apa.” (HR. Abu Ya’la, Juz. 4, Hal. 369, No hadits. 1761. Imam Al Haitsami mengatakan: sanadnya hasan. Lihat Majma’ az Zawaid, Juz. 2, Hal. 74. Al Maktabah Asy Syamilah)
Dari keterangan dua hadits di atas, kita bisa mengetahui bahwa shalat tarawih pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masih
hidup adalah delapan rakaat, dan ditambah witir, dan tidak sampai dua
puluh rakaat. Oleh karena itu Syaikh Sayyid Sabiq berkomentar:
هذا هو المسنون الوارد عن النبي صلى الله عليه وسلم ولم يصح عنه شئ غير ذلك
“Inilah sunah yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan tidak ada sesuatu pun yang shahih selain ini.” (Fiqhus Sunnah, Juz. 1, hal. 206. Al Maktabah Asy Syamilah)
Imam Ibnu Hajar al Asqalani berkata:
وَأَمَّا
مَا رَوَاهُ اِبْنُ أَبِي شَيْبَةَ مِنْ حَدِيث اِبْن عَبَّاسٍ " كَانَ
رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي رَمَضَان
عِشْرِينَ رَكْعَة وَالْوِتْرَ " فَإِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ ، وَقَدْ عَارَضَهُ
حَدِيثُ عَائِشَة هَذَا الَّذِي فِي الصَّحِيحَيْن
“Dan ada pun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, dari hadits Ibnu Abbas, “Bahwa dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan ditambah witir” maka sanadnya dha’if, dan telah bertentangan dengan hadits dari ‘Aisyah yang terdapat dalam shahihain (Bukhari dan Muslim).” (Fathul Bari, Juz. 6 Hal. 295, pembahasan hadits no. 1874. Imam Al Haitsami juga mengatakan: Dhaif. Lihat Majma’ Az Zawaid, Juz. 3, Hal. 172. Al Maktabah Asy Syamilah)
Demikian keadaan shalat Tarawih pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masih hidup.
Tarawih Pada masa Sahabat Radhiallahu ‘Anhum dan generasi setelahnya
Pada masa sahabat, khususnya sejak masa khalifah Umar bin Al Khathab Radhilallahu ‘Anhu dan seterusnya, manusia saat itu melaksanakan shalat tarawih dua puluh rakaat.
وصح
أن الناس كانوا يصلون على عهد عمر وعثمان وعلي عشرين ركعة، وهو رأي جمهور
الفقهاء من الحنفية والحنابلة وداود، قال الترمذي: وأكثر أهل العلم على ما
روي عن عمر وعلي وغيرهما من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم عشرين ركعة،
وهو قول الثوري وابن المبارك والشافعي، وقال: هكذا أدركت الناس بمكة يصلون
عشرين ركعة
“Dan
telah shah, bahwa manusia shalat pada masa Umar, Utsman, dan Ali
sebanyak 20 rakaat, dan itulah pendapat jumhur (mayoritas) ahli fiqih
dari kalangan Hanafi, Hambali, dan Daud. Berkata At Tirmidzi:
‘Kebanyakan ulama berpendapat seperti yang diriwayatkan dari Umar dan
Ali, dan selain keduanya dari kalangan sahabat nabi yakni sebanyak 20
rakaat. Itulah pendapat Ats Tsauri, Ibnul Mubarak. Berkata Asy Syafi’i:
“Demikianlah, aku melihat manusia di Mekkah mereka shalat 20 rakaat.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1 hal. 206. Al Maktabah Asy Syamilah)
Imam Ibnu Hajar menyebutkan:
وَعَنْ
يَزِيد بْن رُومَانَ قَالَ " كَانَ النَّاس يَقُومُونَ فِي زَمَانِ عُمَر
بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ " وَرَوَى مُحَمَّد بْن نَصْر مِنْ طَرِيق عَطَاء
قَالَ " أَدْرَكْتهمْ فِي رَمَضَان يُصَلُّونَ عِشْرِينَ رَكْعَة وَثَلَاثَ
رَكَعَاتِ الْوِتْر "
“Dari Yazid bin Ruman, dia berkata: “Dahulu manusia pada zaman Umar melakukan 23
rakaat.” Dan Muhammad bin Nashr meriwayatkan dari Atha’, dia berkata:
“Aku berjumpa dengan mereka pada bulan Ramadhan, mereka shalat 20 rakaat
dan tiga rakaat witir.” (Fathul Bari, Juz. 6, Hal. 292, pembahasan hadits no. 1871. Al Maktabah Asy Syamilah)
Beliau melanjutkan:
وَرَوَى
مُحَمَّد اِبْن نَصْر مِنْ طَرِيق دَاوُدَ بْن قَيْس قَالَ " أَدْرَكْت
النَّاس فِي إِمَارَة أَبَانَ بْن عُثْمَان وَعُمْر بْن عَبْد الْعَزِيز -
يَعْنِي بِالْمَدِينَةِ - يَقُومُونَ بِسِتٍّ وَثَلَاثِينَ رَكْعَةً
وَيُوتِرُونَ بِثَلَاثٍ " وَقَالَ مَالِك هُوَ الْأَمْرُ الْقَدِيمُ
عِنْدَنَا . وَعَنْ الزَّعْفَرَانِيِّ عَنْ الشَّافِعِيِّ " رَأَيْت
النَّاس يَقُومُونَ بِالْمَدِينَةِ بِتِسْعٍ وَثَلَاثِينَ وَبِمَكَّة
بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ ، وَلَيْسَ فِي شَيْء مِنْ ذَلِكَ ضِيقٌ "
Muhammad
bin Nashr meriwayatkan dari jalur Daud bin Qais, dia berkata: “Aku
menjumpai manusia pada masa pemerintahan Aban bin Utsman dan Umar bin
Abdul Aziz –yakni di Madinah- mereka shalat 39 rakaat dan ditambah witir
tiga rakaat.” Imam Malik berkata,”Menurut saya itu adalah perkara yang
sudah lama.” Dari Az Za’farani, dari Asy Syafi’i: “Aku melihat manusia
shalat di Madinah 39 rakaat, dan 23 di Mekkah, dan ini adalah masalah
yang lapang.” (Ibid)
Sementara itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika mengomentari Tarawih-nya Ubay bin Ka’ab yang 20 rakaat, beliau berkata:
فَرَأَى
كَثِيرٌ مِنْ الْعُلَمَاءِ أَنَّ ذَلِكَ هُوَ السُّنَّةُ ؛ لِأَنَّهُ
أَقَامَهُ بَيْن الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَلَمْ يُنْكِرْهُ
مُنْكِرٌ . وَاسْتَحَبَّ آخَرُونَ : تِسْعَةً وَثَلَاثِينَ رَكْعَةً ؛
بِنَاءً عَلَى أَنَّهُ عَمَلُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ الْقَدِيمِ .
“Kebanyakan
ulama berpendapat bahwa itu adalah sunah, karena itu ditegakkan di
antara kaum Muhajirin dan Anshar dan tidak ada yang mengingkarinya.
Sedangkan ulama lainnya menyunnahkan 39 rakaat, lantaran itu adalah
perbuatan penduduk Madinah yang telah lampau.” (Majmu’ al Fatawa, Juz. 5, Hal. 280. Al Maktabah Asy Syamilah)
Lalu, yang lebih baik dari semua ini? Imam Ibnu Taimiyah berkata:
وَالصَّوَابُ أَنَّ ذَلِكَ جَمِيعَهُ حَسَنٌ كَمَا قَدْ نَصَّ عَلَى ذَلِكَ الْإِمَامُ أَحْمَد رَضِيَ اللَّهُ عَنْه
“Yang benar adalah bahwa itu semua adalah baik, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Imam Ahmad Radhiallahu ‘Anhu.” (Ibid)
Telah masyhur dalam madzhab Imam Malik adalah 39 rakaat, demikian keterangannya:
وذهب مالك الى أن عددها ست وثلاثون ركعة غير الوتر.
قال
الزرقاني: وذكر ابن حبان أن التراويح كانت أولا إحدى عشرة ركعة، وكانوا
يطيلون القراءة فثقل عليهم فخففوا القراءة وزادوا في عدد الركعات فكانوا
يصلون عشرين ركعة غير الشفع والوتر بقراءة متوسطة، ثم خففوا القراءة وجعلوا
الركعات ستا وثلاثين غير الشفع والوتر، ومضى الامر على ذلك.
“Dan
madzhab Imam Malik adalah 39 rakaat belum termasuk witir. Berkata Imam
Az Zarqani: ‘Ibnu Hibban menyebutkan bahwa shalat Tarawih dahulunya
adalah sebelas rakaat, mereka membaca surat yang panjang dan itu
memberatkan bagi mereka, lalu mereka meringankan bacaan namun menambah
rakaat, maka mereka shalat 20 rakaat belum termasuk witir dengan bacaan
yang sedang-sedang, kemudian mereka meringankan lagi bacaannya dan
rakaatnya menjadi 39 rakaat belum termasuk witir, dan perkara ini telah
berlangsung sejak lama.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1 hal. 206, cat kaki no. 2. Al Maktabah Asy Syamilah)
Jadi,
para imam ini, tidak mempermasalahkan banyak sedikitnya rakaat. Namun
mereka melihat pada esensinya yakni ketenangan dan kekhusyu’an. Jika
mereka ingin membaca surat yang panjang, mereka menyedikitkan jumlah
rakaat, jika mereka memendekkan bacaan, maka mereka memperbanyak jumlah
rakaat.
Berkata Imam Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu:
إِنْ
أَطَالُوا الْقِيَامَ وَأَقَلُّوا السُّجُودَ فَحَسَنٌ ، وَإِنْ
أَكْثَرُوا السُّجُود وَأَخَفُّوا الْقِرَاءَةَ فَحَسَنٌ ، وَالْأَوَّل
أَحَبُّ إِلَيَّ
“Sesungguhnya
mereka memanjangkan berdiri dan menyedikitkan sujud maka itu baik, dan
jika mereka memperbanyak sujud dan meringankan bacaan, maka itu juga
baik, dan yang pertama lebih aku sukai.” (Fathul Bari, Juz. 6, Hal. 292, pembahasan hadits no. 1871. Al Maktabah Asy Syamilah)
Tata Cara Pelaksanaannya
Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata:
مَا
كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ
رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ
ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ
ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ
أَنْ تُوتِرَ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا
يَنَامُ قَلْبِي
“Bahwa
Rasulullah tidak pernah menambah lebih dari sebelas rakaat shalat
malam, baik pada bulan Ramadhan atau selainnya. Beliau shalat empat
rakaat dan jangan tanya betapa bagus dan panjangnya beliau shalat
kemudian beliau shalat lagi empat rakaat dan jangan tanya betapa bagus
dan panjangnya beliau shalat, kemudian beliau shalat tiga rakaat. Aku
bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah engkau tidur dahulu sebelum witir?”
beliau menjawab: ‘Wahai ‘Aisyah sesungguhnya mataku tertidur, tetapi
hatiku tidak.” (HR. Bukhari, Kitab Shalah At Tarawih Bab Fadhli Man Qaama Ramadhan, Juz. 7 Hal. 138, no hadits. 1874. Muslim, Kitab Ash Shalah Al Musafirin wa Qashruha Bab Shalatil Laili wa ‘Adadi Raka’at …, Juz. 4, hal. 89, No hadits. 1219. Al Maktabah Asy Syamilah)
Dari
hadits ini bisa diketahui bahwa, beliau melaksanakan shalat malam
dengan cara empat rakaat, empat rakaat dan tiga rakaat witir. Imam
Bukhari meletakkan hadits ini dalam pembahasan Shalat Tarawih.
Namun lebih masyhur adalah dilakukan dua rakaat dua rakaat, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya tentang shalat malam:
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ عَلَيْهِ السَّلَام صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى
Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat.” (HR. Bukhari, Kitab Al Jum’ah Bab Ma Ja’a fil Witri, Juz.4 Hal. 71, No hadits. 936. Muslim, Kitab Shalatul Musafirin wa Qashruha Bab Shalatil Laili Matsna Matsna …., Juz. 4, Hal. 112, No hadits. 1239. Al Maktabah Asy Syamilah)
Hadits ini menunjukkan bahwa shalat malam itu, termasuk tarawih, dilakukan dua rakaat dua rakaat (matsna matsna).
Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:
هَذَا
الْحَدِيث مَحْمُول عَلَى بَيَان الْأَفْضَل وَهُوَ أَنْ يُسَلِّم مِنْ
كُلّ رَكْعَتَيْنِ ، وَسَوَاء نَوَافِل اللَّيْل وَالنَّهَار يُسْتَحَبّ
أَنْ يُسَلِّم مِنْ كُلّ رَكْعَتَيْنِ ، فَلَوْ جَمَعَ رَكَعَات
بِتَسْلِيمَةٍ أَوْ تَطَوُّع بِرَكْعَةٍ وَاحِدَة جَازَ عِنْدنَا .
“Hadits
ini mengandung arti penjelasan tentang lebih utamanya bersalam pada
setiap dua rakaat, sama saja baik nafilah pada malam dan siang hari,
disukai untuk salam pada setiap dua rakaat, namun seandainya menggabungkan semua rakaat dengan satu salam atau disukai dengan satu rakaat saja, maka itu boleh menurut kami (madzhab syafi’i).” (Syarh An Nawawi ‘Ala Muslim, Juz.3, Hal. 89, No hadits. 1239. Al Maktabah Asy Syamilah)
VI. Shalat Witir
Makna, Hukum, dan keutamaannya
Maknanya adalah ganjil, dan hukumnya sunah mu’akkadah bagi muslim dan muslimah. Hal ini berdasarkan hadits berikut:
قَالَ
عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ إِنَّ الْوِتْرَ لَيْسَ بِحَتْمٍ وَلَا
كَصَلَاتِكُمْ الْمَكْتُوبَةِ وَلَكِنْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْتَرَ ثُمَّ قَالَ يَا أَهْلَ الْقُرْآنِ أَوْتِرُوا
فَإِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْر
“Ali bin Abi Thalib berkata: “Sesungguhnya Witir bukanlah kewajiban
seperti shalat wajib kalian tetapi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
melaksanakan shalat witir, kemudian beliau bersabda: “Wahai Ahli Al
Quran, berwitirlah kalian karena Allah itu witir (ganjil/Maha Esa) dan
mencintai yang ganjil.” (HR. Ibnu Majah, Kitab Iqamah Ash Shalah wa Sunah fiha Bab Ma Ja’a fil Witri, Juz. 4, Hal. 5 No hadits. 1159. Abu Daud, Kitab Ash Shalah Bab Istihabab Al Witr, Juz. 4, Hal. 199, No hadits. 1207. Syaikh Al Albany mengatakan: Shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud, Juz. 3, hal. 416. Al Maktabah Asy Syamilah)
Dalam
hadits di atas, ada tiga pelajaran, pertama, yaitu keutamaan witir,
yang merupakan shalat yang disukai oleh Allah Ta’ala. Kedua, ditegaskan
bahwa shalat witir bukanlah wajib. Ini membantah pendapat Imam Abu
Hanifah yang mengatakan bahwa shalat witir adalah wajib. Ketiga, makna
witir yaitu ganjil.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:
وما ذهب إليه أبو حنيفة من وجوب الوتر فمذهب ضعيف. قال ابن المنذر: لا أعلم أحدا وافق أبا حنيفة في هذا.
“Apa
yang menjadi pendapat Abu Hanifah bahwa witir adalah wajib merupakan
pendapat yang lemah. Berkata Imam Ibnul Mundzir: “Aku tidak mengetahui
seorang pun yang setuju dengan Abu Hanifah dalam hal ini.” (Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 192. Al Maktabah Asy Syamilah)
Waktu Pelaksanaannya
Ulama sepakat bahwa waktu shalat witir adalah setelah Isya hingga fajar. Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
أجمع العلماء على أن وقت الوتر لا يدخل إلا بعد صلاة العشاء وأنه يمتد إلى الفجر.
“Ulama ijma’ (sepakat) bahwa waktu shalat witir tidaklah masuk kecuali setelah Isya dan terus berlangsung hingga fajar.”(Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 192. Al Maktabah Asy Syamilah)
Dalilnya adalah:
عَنْ أَبِي تَمِيمٍ الْجَيْشَانِيِّ
أَنَّ
عَمْرَو بْنَ الْعَاصِ خَطَبَ النَّاسَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ إِنَّ
أَبَا بَصْرَةَ حَدَّثَنِي أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ زَادَكُمْ صَلَاةً وَهِيَ الْوِتْرُ
فَصَلُّوهَا فِيمَا بَيْنَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلَاةِ الْفَجْرِ
قَالَ أَبُو تَمِيمٍ فَأَخَذَ بِيَدِي أَبُو ذَرٍّ فَسَارَ فِي
الْمَسْجِدِ إِلَى أَبِي بَصْرَةَ فَقَالَ لَهُ أَنْتَ سَمِعْتَ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا قَالَ عَمْرٌو
قَالَ أَبُو بَصْرَةَ أَنَا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari
Abu Tamim Al Jaisyani, bahwa Amru bin al ‘Ash berkhutbah pada hari
Jum’at, dia berkata: “Sesungguhnya Abu Bashrah berkata kepada saya bahwa
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: ‘Sesungguhnya Allah Ta’ala menambahkan untuk kalian shalat yakni shalat witir maka hendaknya kalian lakukan antara setelah Isya hingga shalat fajar.’
Abu Tamim berkata: “Abu Dzar memegang tanganku dan mengajakku ke mesjid
menuju tempat Abu Bashrah, lalu beliau bertanya kepada Abu Bashrah:
‘Apakah engkau mendengar Rasulullah mengatakan seperti yang dikatakan
Amru tadi?’ Abu Bashrah menjawab: “Aku mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (HR. Ahmad, Juz. 48, Hal. 374. No hadits. 22731. Syaikh Al Albany berkata: “Sanad hadits ini shahih, semua rijalnya adalah tsiqat (kredibel) dan digunakan oleh Imam Muslim.” Lihat Silsilah Ash Shahihah, Juz. 1, hal. 107, No hadits. 108. Al Maktabah Asy Syamilah)
Mana yang lebih utama; mendahulukan atau mengakhirkan pelaksanaannya?
Utama atau tidaknya hal ini, tergantung manusianya dan ini sifatnya sangat personally
dan spesifik. Jika ada orang yang tidak yakin bisa bangun malam, maka
disunahkan baginya untuk menyegerakan shalat witir. Itulah yang
dilakukan oleh Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu. Bagi
yang yakin bisa bangun malam, maka disunnahkan baginya untuk
mengakhirkan shalat witir di akhir malam. Itula yang dilakukan oleh Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu. Keduanya, dipuji oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam.
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِأَبِي بَكْرٍ مَتَى
تُوتِرُ قَالَ أُوتِرُ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ وَقَالَ لِعُمَرَ مَتَى
تُوتِرُ قَالَ آخِرَ اللَّيْلِ فَقَالَ لِأَبِي بَكْرٍ أَخَذَ هَذَا
بِالْحَزْمِ وَقَالَ لِعُمَرَ أَخَذَ هَذَا بِالْقُوَّةِ
Dari
Qatadah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya kepada
Abu Bakar: “Kapan engkau witir?” Abu Bakar menjawab: “Aku witir pada
awal malam.” Beliau bertanya kepada Umar: “Kapan engkau witir?” Umar
menjawab: “Pada akhir malam.” Maka Rasulullah bersabda kepada Abu Bakar:
“Engkau ini orangnya hati-hati.” Dan bersabda kepada Umar: “Engkau ini
menunjukkan keteguhanmu.” (HR. Abu Daud, Kitab Ash Shalah Bab Fil Witri Qablash Shalah, Juz. 4, hal. 220, No hadits. 1222. Ahmad, Juz. 28, Hal. 352, no hadits. 13803. Al Hakim, Al Mustadrak ‘Alash Shahihain, Juz.3, Hal. 143, No hadits. 1070. Al Hakim mengatakan: “Shahih sesuai syarat Imam Muslim.” Al Maktabah Asy Syamilah)
Jumlah Rakaat Witir
Imam At Tirmidzi mengatakan:
وَقَدْ
رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوَتْرُ
بِثَلَاثَ عَشْرَةَ وَإِحْدَى عَشْرَةَ وَتِسْعٍ وَسَبْعٍ وَخَمْسٍ
وَثَلَاثٍ وَوَاحِدَةٍ
“Telah diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam, bahwa beliau witir tiga belas rakaat, sebelas, lima, tiga, dan satu rakaat.” (HR. At Tirmidzi, Kitab Ash Shalah Bab Ma Ja’a fil Witri bisab’in, Juz.2, Hal. 263, No hadits. 420. Syaikh Al Albany mengatakan: “Sanadnya Shahih.” Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi, Juz. 1 Hal. 457, No. 457. Al Maktabah Asy Syamilah)
Dalam hadits lain:
عن أم سلمة قالت كان النبي صلى الله عليه وسلم يوتر بثلاث عشرة ركعة فلما كبر وضعف أوتر بسبع
“Dari
Ummu Salamah, dia berkata: “Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
melaksanakan witir 13 rakaat, ketika sudah tua dan lemah, dia witir
sembilan rakaat.” (HR. At Tirmidzi, Kitab Ash Shalah Bab Ma Ja’a fil Witri bisab’in, Juz.2, Hal. 263, No hadits. 420. An Nasa’i, Kitab Shalatul ‘Iedain Bab Al Witri Bitsalatsa ‘Asyrata Rak’ah, Juz.6, Hal. 235, No. 1708. Syaikh Al Albany mengatakan: “Sanadnya Shahih.” Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi, Juz. 1 Hal. 457, No. 457. Al Maktabah Asy Syamilah)
Cara Pelaksanaannya
Ada tiga cara pelaksanaan witir, dan semuanya memiliki contoh dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam. Berikut ini adalah penjelasannya:
ويجوز
أداء الوتر ركعتين، ثم صلاة ركعة بتشهد وسلام، كما يجوز صلاة الكل بتشهدين
وسلام، فيصل الركعات بعضها ببعض من غير أن يتشهد إلا في الركعة التي هي
قبل الاخيرة فيتشهد فيها ثم يقوم إلى الركعة الاخيرة فيصليها ويتشهد فيها
ويسلم، ويجوز أداء الكل بتشهد واحد وسلام في الركعة الاخيرة، كل ذلك جائز
وارد عن النبي صلى الله عليه وسلم.
“Dibolehkan menunaikan witir dua rakaat (lalu salam, pen),
lalu dilanjutkan satu rakaat dan salam. Boleh juga shalat witir dua
kali tasyahud dan sekali salam. Shalatnya seluruh rakaatnya disambung
tanpa tasyahhud kecuali pada rakaat sebelum terakhir, kemudian bangun
lagi untuk meneruskan satu rakaat, lalu bertasyahud dan salam. Bahkan
boleh melaksanakan semuanya dengan sekali tasyahhud saja dan sekali
salam pada rakaat terakhir. Semuanya adalah boleh dan memiliki sandaran
dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal 194. Al Maktabah Asy Syamilah)
Pada kenyataannya memang Rasulullah pernah shalat witir lima dan tujuh rakaat hanya dengan sekali tasyahud dan salam.
وقال ابن القيم: وردت السنة الصحيحة الصريحة المحكمة في الوتر بخمس متصلة، وسبع متصلة. كحديث أم سلمة: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يوتر بسبع وبخمس لا يفصل بسلام ولا بكلام. رواه أحمد والنسائي وابن ماجه بسند جيد
“Berkata
Ibnul Qayyim: telah datang dalam sunah yang shahih dan jelas, bahwa
Rasulullah witir tujuh rakaat dan lima rakaat yang bersambung.
Sebagaimana hadits Ummu Salamah: bahwa Rasulullah witir tujuh dan lima
rakaat, tanpa dijeda dengan salam dan tanpa bicara.” Diriwayatkan oleh
Ahmad, Nasa’I dan Ibnu Hibban dengan sanad yang jayyid. (Ibid)
Tidak Boleh Dua Kali Witir dalam Satu Malam
Hal ini ditegaskan oleh hadits berikut, dari Qais bin Thalq, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَا وِتْرَانِ فِي لَيْلَة
“Tidak ada dua witir dalam satu malam.” (HR.
Abu Daud, Juz. 4, Hal. 227, No hadits. 1222. At Tirmidzi, Juz. 2, Hal.
283, No hadits. 432. An Nasa’i, Juz. 6, Hal. 172, no hadits. 1661. Ahmad
Juz. 33, Hal. 30, No hadits.15704. Syaikh Al Albany mengatakan: Shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud, Juz. 3, hal. 439, No hadits. 1439. Al Maktabah Asy Syamilah)
Berkata Syaikh Abdurrahman Mubarkafuri Rahimahullah:
قَالَ
اِبْنُ الْعَرَبِيِّ فِي عَارِضَةِ الْأَحْوَذِيِّ : مَعْنَاهُ أَنَّ مَنْ
أَوْتَرَ فِي آخِرِ اللَّيْلِ ثُمَّ صَلَّى بَعْدَ ذَلِكَ لَا يُعِيدُ
الْوِتْرَ اِنْتَهَى .
“Berkata Ibnul ‘Arabi dalam ‘Aridhah Al Ahwadzi:
Artinya adalah bahwa barangsiapa yang shalat witir pada akhir malam
kemudian shalat setelahnya, maka hendaknya dia tidak mengulangi witir,
selesai. “ (Syaikh Abdurrahman Mubarakafuri, Tuhfah al Ahwadzi, Juz. 2, Hal. 5, no hadits. 432. Al Maktabah Asy Syamilah)
Shalat Setelah Witir
Jumhur ulama mengatakan hal itu boleh sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah melakukannya. Imam At Tirmidzi berkata:
وَقَالَ
بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ إِذَا أَوْتَرَ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ
ثُمَّ نَامَ ثُمَّ قَامَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ يُصَلِّي مَا
بَدَا لَهُ وَلَا يَنْقُضُ وِتْرَهُ وَيَدَعُ وِتْرَهُ عَلَى مَا كَانَ
وَهُوَ قَوْلُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ وَمَالِكِ بْنِ أَنَسٍ وَابْنِ
الْمُبَارَكِ وَالشَّافِعِيِّ وَأَهْلِ الْكُوفَةِ وَأَحْمَدَ وَهَذَا
أَصَحُّ لِأَنَّهُ قَدْ رُوِيَ مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ صَلَّى بَعْدَ الْوِتْرِ
“Menurut
sebagian ahli ilmu kalangan sahabat nabi dan selain mereka, jika
melaksanakan witir pada awal malam kemudian shalat lagi pada akhir
malam, maka dia shalat dari semula dan janganlah dia membatalkan
witirnya yang sebelumnya dan hendaknya dia meninggalkan witir,
demikianlah pandangan Sufyan Ats Tsauri, Malik, Ibnul Mubarak Asy
Syafi’I, penduduk Kufah, Ahmad, dan inilah yang lebih shahih, karena
diriwayatkan dari jalur lain bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam pernah shalat setelah witir.” (Sunan At Tirmidzi, juz.2 hal. 283, No. 432. Al Maktabah Asy Syamilah)
Namun, ada juga yang melarang dengan dasar hadits berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا
“Jadikanlah witir dalah akhir dari shalat malam kalian.” (HR. Bukhari, 4 81 943, Muslim, Juz.4, Hal. 118, No. 1245. Al Maktabah Asy Syamilah)
Kelompok ini mengatakan bahwa shalat yang dilakukan oleh Rasulullah setelah witir adalah shalat fajar.
وَأَجَابَ مَنْ لَمْ يَقُلْ بِأَنَّ الرَّكْعَتَيْنِ الْمَذْكُورَتَيْنِ هُمَا رَكْعَتَا الْفَجْر
“
kalangan
yang tidak berpendapat demikian memberikan sanggahan, bahwa
sesungguhnya dua rakaat tersebut adalah dua rakaat sunah fajar.” (Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam, Juz. 2 hal. 281. Al Maktabah Asy Syamilah)
0 comments:
Post a Comment